Sampai saat ini Pelaksanaan dan pengawasan Ujian Nasional masih melibatkan Perguruan tinggi. Bahkan pihak kepolisiaan juga dipercaya ikut mengamankan naskah soal. Sekolah dan Guru masih belum mendapatkan kepercayaan itu.
Ketidakpercayaan itu muncul manakala banyak kasus yang mencuat pada pelaksanaan Ujian Nasional sebelumnya. Kasus yang mencuat, misalnya kecurangan yang dilakukan peserta ujian dengan berbagai modus. Saling memberitahu jawaban sesama peserta saat ujian, tukar menukar jawaban dengan sobekan kertas. Bahkan ada oknum panitia ujian yang sengaja memberikan jawaban kepada peserta.
Kecuruangan itu terpaksa dilakukan oleh peserta maupun oleh oknum karena keinginan yang kuat untuk lulus ujian. Mereka masih berkayakinan bahwa jika gagal dalam menempuh ujian, maka mereka beranggapan gagal segala-galanya, mereka tidak siap menanggung beban sebagai orang yang gagal.
Gagal masih dianggap hal yang tidak lazim. Gagal dianggap masalah yang memalukan, gagal masih menakutkan. Makanya untuk menghindari hal yang tidak lazim atau memalukan, beberapa oknum nekat melakukan kecurangan dengan berbagai cara. Dan kecurangan itu akan sangat mudah ditemukan. Lantas kecurangan itulah sebagai sumber ketidakpercayaan.
Sebenarnya kegagalan itu adalah hal yang biasa, sebagaimana kita lihat kebiasaan di perguruan tinggi, seorang mahasiswa harus mengulang mata kuliah tertentu, karena tidak berhasil memperoleh nilai yang dipersyaratkan, dan mahasiswa tersebut bersikap biasa saja, dan rela mengulang, memang dia pantas mengulang.
Tentunya kalau memang pantas dan siap untuk lulus ujian, mengapa harus melakukan kecurangan. Kejujuran perlu dikedepankan agar kembali memperoleh kepercayaan.
Tulisan ini sebagai tanggapan artikel Prof. Imam Suprayogo http://www.facebook.com/notes/imam-suprayogo-dua/menjadi-orang-dipercaya-mahal-harganya/10150161411579828
Saturday, April 16, 2011
Merebut Kembali Kepercayaan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment