Thursday, March 31, 2011

Fenomena Budaya Autisme

Hari Senin yang lalu Kota Malang kembali kehilangan seorang Tokoh Budaya, juga Sastrawanan, sekaligus Editor Buku yang juga rajin menulis buku, beliau adalah Ratna Indraswari Ibrahim telah meninggalkan kita semua dalam usia 61 tahun. Berita meninggalnya Mbak Ratna cepat sekali menyebar dari mulut ke mulut, bahkan di dunia maya berita duka itupun segera meluas, berbagai media online memberitakan kematian seorang penulis perempuan yang produktif itu.

Saya sebelumnya tidak mengenal banyak tentang aktifitas dan kelebihan beliau, cuma pernah tahu saat di toko buku ada promosi tentang tulisan mbak Ratna. Justru setelah mendengar berita meninggalnya saya timbul rasa penasaran. Di benak saya muncul keheranan, apa sih kehebatan mbak Ratna ini kok banyak diomongkan orang, apalagi banyak teman update di dindingnya, tentang ucapan belasungkawa. Coba search di www.google.com dengan kata kunci Ratna Indraswati ibrahim, muncullah aneka link yang mengungkap tentang keseharian dan kiprah beliau semasa masih hidup.

Saya coba klik salah satu link yang memakai blogspot.com, ada salah satu ungkapan yang menarik bagi saya, saat mbak Ratna diwawancara. Mbak Ratna mersakan prihatin, selanjutnya beliau mengatakan: " karena 'budaya autis' sudah melanda masyarakat kita, baik anak-anak muda maupun para orang tua. Autis itu orang yang hanya sibuk dengan dirinya sendiri, tidak peduli pada orang lain. Dan kapitalisme telah merusak sendi-sendi budaya guyub seduluran, silaturahmi, yang sejak dulu menjadi ciri khas masyarakat Indonesia."

Coba, sekarang apa masih ada orang yang membiasakan silaturahmi dengan tetangga, dua tiga rumah di sebelahnya? Jangan-jangan kita tidak kenal sama tetangga sendiri. Dulu, budaya guyub seduluran itu terasa sekali. Orang saling kenal dan membutuhkan. Tapi sekarang orang hanya sibuk dengan urusannya sendiri.

Di kalangan pendidik pun bisa kita jumpai budaya autis, dampak dari tuntutan sertifikasi, hampir semua guru yang melakukan proses sertifikasi mau tidak mau terjerat dalam budaya autis ini. Mereka sibuk bahkan supersibuk dengan tetek mbengek persyaratan administrasi, tidak hanya satu hari dua hari saja urusan itu segera selesai. Yang pasti tugas utama melaksanakan PBM, mendidik, Menjadi Aktor, Motivator, manager proses belajar siswa menjadi terhenti, fakum, kalah dengan urusan administrasi.

Di dalam lingkungan keluarga pun bisa kita lihat fenomena budaya autisme, orang tua sibuk dengan profesinya, berangkat sebelum matahari terbit dan pulang sudah menjelang malam. Setiap hari, setiap bulan bahkan sampai gak terasa anaknya sampai masuk usia dewasa. Anak menjadi kehilangan kasih sayang, anak kehilangan figur orang tua, anak mengalami kehampaan dalam keluarga.

Di kalangan Legislatif, wakil rakyat semakin kehilangan idealisme, mereka sudah tidak konsern lagi dengan kepentingan rakyat yang memilihnya. Mereka sibuk sendiri dengan urusan yang bisa membesarkan dan kesejahteraan mereka sendiri, tidak lagi loman seperti saat mereka masih mempersiapkan diri menjelang pemilu atau pilkada, tidak lagi loyal dan merakyat seperti saat-saat kampanye.

Kayaknya hampir semua lini, profesi maupun status ada kecenderungan terjadi proses budaya autisme, rasanya terlalu panjang kalau dipaparkan satu persatu. Orang cenderung menyendiri dari pada sillahturrahmi, orang lebih senang menerima daripada memberi.

Akankah kita akan terus masuk dalam lingkaran autisme ini...???

Bukankah Sillahturrahmi sangat banyak manfaat yang bisa diraih ?? ajaran yang menyatakan tangan di atas lebih baik daripada tangan dibawah, sebaik-baik manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi yang lain adalah solusi dari upaya keluar dari lingkaran budaya autisme. Semoga bermanfaat...

Salam,

Bsj

No comments: